Pemkot Mojokerto Adakan Workshop Pencegahan Kekerasan Perempuan dan Anak

Pemkot Mojokerto Adakan Workshop Pencegahan Kekerasan Perempuan dan Anak
Pemkot Mojokerto Adakan Workshop Pencegahan Kekerasan Perempuan dan Anak

Mojokertopos.com – Pemerintah Kota (Pemkot) Mojokerto mengadakan workshop pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, Selasa (18/7/2023) di Sabha Mandala Tama Pemkot Mojokerto.

 

Kepala Dinas Sosial P3A Kota Mojokerto, Choirul Anwar menjelaskan, dasar penyelenggaraan yang pertama adalah undang-undang nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Yang kedua adalah undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

 

“Yang ketiga adalah peraturan daerah nomor 4 tahun 2017 tentang kota layak anak dan yang keempat adalah peraturan daerah nomor 9 tahun 2020 tentang pengarusutamaan gender,” ungkap Choirul Anwar.

 

Lebih lanjut dikatakannya, maksud diselenggarakannya kegiatan workshop pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah untuk meningkatkan kapasitas SDM pilar-pilar sosial pada Dinas Sosial P3A agar lebih berkompeten dalam memberikan pendampingan dan pertolongan kepada korban kekerasan.

 

“Sedangkan tujuannya adalah untuk meningkatkan wawasan kepada pilar-pilar sosial tentang undang-undang perlindungan anak tentang KDRT, tentang tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan tentang penghapusan kekerasan seksual. Selain itu untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan perempuan dan anak serta menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Peserta kegiatan ini diikuti 60 peserta yang terdiri dari relawan tagana, surveyor dan kampung siaga bencana,” jelas Choirul Anwar.

 

Wali Kota Mojokerto, Hj. Ika Puspitasari, S.E. menambahkan, workshop kali ini untuk sebuah niat yang sangat mulia yaitu mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak.

 

“Kenapa hanya perempuan dan anak. Apakah laki-laki tidak pernah jadi korban kekerasan. Saya melihat akhir-akhir ini berita yang sering beredar justru korban kekerasan itu banyak sekali laki-laki yang diperlakukan seperti perempuan ya. Contohnya di Jawa Barat karena pada masa kecilnya dia menjadi korban akhirnya ketika dia dewasa, murid-muridnya dijadikan mangsa menjadi korbannya dia,” jelas Ning Ita sapaan Wali Kota Mojokerto.

 

Menurut Ning Ita, kasus seperti ini sekarang sangat banyak terpublikasikan. Bisa jadi kasus serupa itu sudah ada jauh sebelum kita dilahirkan karena faktanya di dalam Al-Qur’an juga sudah disebutkan Nabi yang diturunkan Allah jauh sebelum kita ada di muka bumi itu sudah ada kaumnya Nabi Luth.

 

“Tapi karena sekarang era keterbukaan informasi sehingga segala sesuatu yang terjadi di pelosok-pelosok negeri mudah sekali untuk dipublikasikan dan diketahui secara umum,” terang Ning Ita.

 

Lebih jauh dikatakannya, kekerasan itu, tentu korban tidak harus perempuan dan anak. Karena faktanya laki-laki banyak menjadi korban kekerasan dan akhirnya dia mencari pelampiasan untuk menjadikan orang lain menjadi korbannya.

 

“Dia ini secara psikologis pasti ada traumatik di masa kecil. Dia menjadi korban ketika dia dewasa mencari korban untuk diperlakukan yang sama seperti ketika dia dulu diperlakukan. Hal ini justru menjadi sebuah penyakit yang sangat berbahaya,” tegas Ning Ita.

 

Menurutnya, saat ini terjadi di sekitar kita perceraian rumah tangga sampai di pelosok-pelosok desa. Kasusnya ya ternyata sama, karena laki-lakinya mau dengan perempuan dan mau juga dengan sesama jenis.

 

“Ini justru bagi saya lebih mengerikan karena pintu masuknya penyakit menular seksual yang sampai hari ini Allah belum memberikan obat penyembuhnya itu berasal dari hubungan sejenis. Kenapa kaumnya Nabi Luth ini dilaknat oleh Allah sampai akhir zaman karena sejatinya kemudharatannya baru kita ketahui di zaman ini yakni munculnya penyakit menular seksual yang disebut dengan HIV AIDS,” pesan Ning Ita.

 

Dan sampai hari ini, belum ada obat penyembuhnya. Kalaupun ada dan dikonsumsi yang bernama ARV itu tidak menyembuhkan hanya menekan penyebaran virusnya karena HIV itu akan menggerogoti imunitas tubuh manusia.

 

“Saya berani berbicara seperti ini karena hal ini menggugah batin saya. Ketika tahun lalu saya berkunjung ke panti asuhan lentera yang ada di Solo dan yayasan kebaya yang ada di Jogja. Panti Asuhan Lentera ini merawat anak-anak yatim yang 100% berada di dalam yayasan itu adalah ada anak dengan HIV AIDS yang sudah ditinggal meninggal oleh orang tuanya. Yang terinfeksi HIV dari orang tuanya yang tidak tahu dosa tapi terlahir sudah dengan HIV AIDS dari orang tuanya,” ungkap Ning Ita.

 

Perlu diketahui, di Solo masih ada orang yang karena dia hidup di jalanan digerakkan oleh Allah untuk memiliki kepedulian menjadikan dirinya sebagai orang tua asuh merawat yatim dan yatim piatu. Mereka tinggal menghitung waktu kapan waktunya dia dipanggil Yang Maha Kuasa karena mereka semua sudah setiap hari minum ARV sejak kecil.

 

“Jadi sejatinya lebih mengerikan yang korban laki-laki daripada perempuan dan anak karena kemudhorotan yaitu terus sambung-menyambung dari generasi ke generasi dan sulit untuk diputuskan. Ketika anak laki-laki sudah menjadi korban kekerasan seksual, maka ketika dewasa dia akan mencari pelampiasan untuk dijadikan korbannya dia,” kata Ning Ita.

 

Ning Ita mengungkapkan, setelah dia melakukan hubungan seksual sesama jenis sama-sama laki-laki. Kemudian dia menikahnya dengan perempuan maka penyakitnya akan ditularkan kepada perempuan. Inilah kemudharatan sambung-menyambung dari generasi ke generasi dan tidak bisa diputus.

 

“Makanya kenapa saya bilang lebih mengerikan korbannya laki-laki daripada perempuan dan anak. Sama-sama perbuatan yang buruk tapi dampak kemudharatannya ini lebih mengerikan yang korban laki-laki maka sudah seharusnya ini juga dimasukkan di dalam satu program yang kita usulkan nanti kepada kementerian,” ujar Ning Ita.

 

Masih kata Ning Ita, anak-anak seringkali tidak tahu jika menjadi korban. Karena biasanya mereka berada dibawah ancaman dan tidak mau mengakui bahwa mereka telah mengalami kekerasan seksual tahu-tahu sudah dewasa.

 

“Waktu masih kecil, waktu mereka jadi korban mereka nggak mau speak up karena berada di dalam ancaman pelaku. Tapi ketika dia dewasa dia menjadi pelaku dan mencari korban. Hal itu yang sering terjadi dan ini sudah terjadi. Cuman keterbukaan untuk mau menyampaikan ini yang menjadi tugas kita bersama. Saya minta tolong kepada narasumber agar di workshop ini juga disampaikan cara yang bisa dilakukan oleh Bapak Ibu relawan bagaimana menggali pendekatan assessment dari korban,” tutur Ning Ita. (Tik/Adv)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *