Mojokertopos.com, Jakarta – PLN sedang melakukan pengurangan penggunaan bahan bakar batu bara pada pembangkit listrik. Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulfikli Zaini mengatakan pihaknya akan fokus melakukan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
Salah satunya adalah lewat program cofiring, program ini adalah upaya mengganti batu bara untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap dengan materi lain. Salah satu yang dilirik adalah sampah dan bio massa.
“Salah satu inovasi PLN untuk mencapai target bauran dengan menerapkan cofiring biomassa di pembangkit listrik tenaga uap eksisting. Kami akan substitusi sebagian batu bara dengan bahan bakar bio massa, baik yang berasal dari pelet sampah maupun dari hutan tanaman energi,” ungkap Zulkifli dalam konferensi pers virtual, Jumat (7/5/2021).
PLN akan mengubah sampah atau materi bio massa menjadi semacam pelet untuk menjadi bahan bakar di pembangkit-pembangkit listrik tenaga uap. Dengan program ini PLN tak perlu membangun pembangkit listrik khusus untuk menukar batu bara sebagai energi primer pembangkit listrik.
“kalau cofiring kita tidak perlu bangun pembangkit baru khusus, Jadi sampah itu kita konversi dalam bentuk pelet, dan dari pelet itu digunakan menjadi bagian energi primer pembangkit listrik tenaga uap eksisting dari PLN,” ungkap Zulkifli.
Program cofiring sendiri, menurut Zulkifli, telah dilakukan sejak tahun 2018, sampai saat ini PLN sudah melakukan program ini di 8 lokasi PLTU PLN eksisting. Dia menyebutkan masih ada 52 lokasi PLTU lagi yang akan mengimplementasikan program cofiring. Kontribusinya mencapai 10,6 giga watt dengan kebutuhan bio massa dan sampah mencapai 9 juta ton per tahun.
Direktur Megaproyek PLN Ikhsan Asaad menyebutkan program cofiring ini operasinya juga dinilai tidak terlalu mahal. Mengubah sampah menjadi 100 ton bahan bakar listrik hanya butuh Rp 24 miliar.
“Capex (modal) yang dibutuhkan untuk mengubah sampah menjadi pelet nggak terlalu besar. Kami sudah uji coba di tempat pembuangan sampah di Rawa Kucing Tangerang itu kira-kira dengan 100 ton sehari itu Rp 24 miliar,” kata Ikhsan.
PLN saat ini membutuhkan 1 juta ton sampah dan 9 juta ton bahan bio massa untuk menjalankan program cofiring yang mengganti batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Bahan bio massa sendiri bisa didapatkan dari tanaman kalianda atau kamal yang ditanam di lahan-lahan kering.
“Kita mendorong bagaimana masyarakat menanam pohon kalianda atau kamal di lahan kering yang tak termanfaatkan, ini penting untuk memenuhi 9 juta ton bio massa. Jadi, 1 juta ton dari sampah dan 8 juta ton dari hutan tanaman energi,” ungkap Ikhsan.
Selain dengan program cofiring, penggunaan sampah juga akan dilakukan dengan pembangunan PLTSa alias pembangkit listrik tenaga sampah. Paling baru, pemerintah baru saja meresmikan PLTSa Benowo di Surabaya.
Kapasitasnya mencapai 9 mega watt dan bisa menghabiskan 1.000 ton sampah sebagai bahan bakar per hari. Rencananya, ada 12 PLTSa lagi yang akan dibangun secara nasional. (Red)